FAQ Seputar Alokasi Dana Desa (ADD)

Pada posting kali ini kami akan mengangkat faq seputar Alokasi Dana Desa (ADD) tersebut, agar paling tidak kita semua paham bahwa ADD bukanlah dana hibah cuma-cuma untuk kepala desa dan perangkatnya. Namun, apakah masyarakat desa telah tahu dan sadar bahwa dengan diterapkannya kebijakan ADD ini mereka harus memahami hak-hak dan kewajiban mereka. Jika belum memahami hak dan kewajibannya, maka dikhawatirkan mereka tidak akan menaruh perhatian. Jika pun ada perhatian, sangat mungkin akan terjadi banyak salah persepsi. Untuk menghindarinya, kebijakan mengenai ADD ini sangat penting didesiminasikan, sehingga mereka dengan kesadarannya yang baru setelah memahami hak-hak dan kewajibannya akan "berdiri" & "berbicara".

Rinciannya seperti ini:

Kelahiran UU No.32/2004 yang kemudian diperkuat dengan PP.72/2005 memberikan kepastian hukum terhadap perimbangan keuangan desa dan kabupaten/kota. Berdasarkan PP. 72/2005 pasal 68 ayat 1 huruf c, desa memperoleh jatah Alokasi Dana Desa (ADD). ADD yang diberikan ke desa merupakan hak desa. Sebelumnya, desa tidak memperoleh kejelasan anggaran untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa. Saat ini, melalui ADD desa berpeluang untuk mengelola pembangunan, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan desa secara otonom.

Menteri Dalam Negeri tertanggal 17 Agustus 2006 mengeluarkan Surat Kawat bernomor 140/1841/SJ yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk segera merealisasikan ADD, terutama kepada kabupaten/kota yang sama sekali belum melaksanakan ADD. Dalam Surat Kawat tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan jelas menyebutkan bahwa percepatan ADD dilakukan untuk mendukung peningkatan kinerja pemerintahan desa.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN ADD
ADD adalah dana yang diberikan kepada desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota (Pasal 1 ayat 11, PP 72/2005).

MENGAPA DESA MEMPEROLEH ADD?
ADD merupakan hak desa sebagaimana pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki hak untuk memperoleh anggaran DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) dari Pemerintah Pusat.

APA TUJUAN ADANYA ADD?

  1. Untuk memperkuat kemampuan keuangan desa (APBDes), dengan demikian sumber APBDes terdiri dari PADes ditambah ADD.

  2. Untuk memberi keleluasaan bagi desa dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta sosial kemasyarakatan desa

  3. Untuk mendorong terciptanya demokrasi desa

  4. Untuk meningkatkan pendapatan dan pemerataannya dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat desa


APA MANFAAT ADD?
Beberapa Manfaat ADD Bagi Kabupaten/Kota

  1. Kabupaten/Kota dapat menghemat tenaga untuk membiarkan desa mengelola otonominya, tanpa terus bergantung kepada Kabupaten/Kota

  2. Kabupaten/kota bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik untuk skala luas yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat untuk jangka panjang (Tim FPPD, 2005).


Beberapa Manfaat ADD Bagi Desa
  1. Desa dapat menghemat biaya pembangunan, karena desa dapat mengelola sendiri proyek pembangunannya dan hasil-hasilnya dapat dipelihara secara baik demi keberlanjutannya.

  2. Tiap-tiap desa memperoleh pemerataan pembangunan sehingga lebih mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat desa.

  3. Desa memperoleh kepastian anggaran untuk belanja operasional pemerintahan desa. Sebelum adanya ADD, belanja operasional pemerintahan desa besarnya tidak pasti

  4. Desa dapat menangani permasalahan desa secara cepat tanpa harus lama menunggu datangnya program dari Pemerintah Daerah Kabupaten/kota

  5. Desa tidak lagi hanya tergantung pada swadaya masyarakat dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta sosial kemasyarakatan desa

  6. Dapat mendorong terciptanya demokrasi di desa. ADD dapat melatih masyarakat dan pemerintah desa untuk bekerja sama, memunculkan kepercayaan antar pemerintah desa dengan masyarakat desa dan mendorong adanya kesukarelaan masyarakat desa untuk membangun dan memelihara desanya

  7. Dapat mendorong terciptanya pengawasan langsung dari masyarakat untuk menekan terjadinya penyimpangan

  8. Dengan partisipasi semua pihak, maka kesejahteraan kelompok perempuan, anak-anak, petani, nelayan, orang miskin, dll dapat tercapai


SIAPA PENERIMA MANFAAT ADD?

  1. Pemerintah desa

  2. Badan Permusyawaratan Desa

  3. Lembaga-lembaga kemasyarakatan desa

  4. Masyarakat desa (termasuk perempuan, anak-anak, petani, buruh, nelayan dan kaum miskin desa yang lainnya)


BAGAIMANA PERUNTUKKAN ADD?

  1. Untuk biaya pembangunan desa

  2. Untuk pemberdayaan masyarakat

  3. Untuk memperkuat pelayanan publik di desa

  4. Untuk memperkuat partisipasi dan demokrasi desa

  5. Untuk tunjangan aparat desa;

  6. Untuk tunjangan BPD

  7. Untuk operasional pemerintahan desa

  8. Tidak boleh digunakan untuk kegiatan politik atau kegiatan lainnya yang melawan hukum.


APA DASAR HUKUM ADANYA ADD?

  • UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 212 ayat 3 yang berbunyi: sumber pendapatan desa terdiri dari;


  1. Pendapatan asli desa;

  2. Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;

  3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota;

  4. Bantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota;

  5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.


  • PP. 72/2005 Tentang Desa (Pasal 68 ayat 1 huruf c)

  • Surat Edaran Mendagri No. 140/640/SJ tertanggal 22 Maret 2005 Tentang Pedoman ADD yang ditujukan kepada pemerintah kabupaten/kota

  • Surat Edaran Mendagri No.140/286/SJ tertanggal 17 Februari 2006 tentang Pelaksanaan ADD

  • Surat Edaran Mendagri No. 140/1841/SJ tertanggal 17 Agustus 2006 tentang perintah penyediaan ADD kepada Propinsi (evaluator) dan kabupaten/kota sebagai pelaksana.


BAGAIMANA PROSES MENYUSUN KEBIJAKAN ADD?
Kebijakan ADD disusun oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. Tahapan dan proses menyusun kebijakan ADD ini, tentu mengikuti prinsip dan cara penyusunan kebijakan daerah yang partisipatif. Kebijakan partisipatif adalah penyusunan kebijakan pemerintah daerah yang melibatkan berbagai pihak di daerah, dari awal sampai akhir.

BAGAIMANA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA MENYUSUN KEBIJAKAN ADD YANG PARTISIPATIF?
Kebijakan ADD yang partisipatif disusun oleh pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tahapan seperti berikut ini:

1. Prakarsa menjadikan ADD sebagai agenda kebijakan daerah
Prakarsa seperti ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, misalnya Asisten I Bidang Pemerintahan/Tatapraja (Bagian Pemerintahan Desa), atau langsung dari Bappeda. Kebijakan ADD ini juga bisa menjadi inisiatif DPRD, terutama Komisi A dan panitia anggaran. Prakarsa ini pun dapat juga dimunculkan oleh Asosiasi Desa (asosiasi kepala desa, perangkat desa atau BPD), LSM dan Perguruan Tinggi.

2. Mempersiapkan tim penyusun kebijakan ADD
Keanggotaan tim penyusun kebijakan ADD dapat terdiri dari; perwakilan birokrasi pemerintah daerah, perwakilan DPRD, perwakilan desa (Pemdes, BPD, Tokoh masyarakat/agama), dan organisasi masyarakat yang peduli dan memiliki pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat desa. Tim penyusun ini selanjutnya bertugas mempersiapkan berbagai hal yang terkait dengan proses penyusunan kebijakan ADD.

3. Melaksanakan proses penyusunan kebijakan ADD secara partisipatif
Proses penyusunan kebijakan ADD secara partisipatif ditandai dengan membentuk tim penyusun kebijakan ADD yang melibatkan berbagai pihak. Proses penyusunan kebijakan sejak dari merumuskan agenda kebijakan, bentuk kebijakan, kekuatan hukum yang memayunginya, pelaksanaan sampai evaluasi kebijakan, selalu melibatkan berbagai pihak. Karena kebijakan ADD ini disusun secara partisipatif dan merupakan kebijakan daerah, maka kekuatan hukumnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PERDA). Peraturan Daerah yang isinya memuat tentang ADD ini, dijadikan satu paket dengan PERDA Tentang Sumber Pendapatan Desa, (PP 72 Tahun 2005 Pasal 72 ayat 1 dan 2).

4. Menjalankan bentuk kebijakan ADD secara baik dan akuntabel.
Menjalankan kebijakan ADD meliputi tahap sosialisasi dan pelaksanaan kebijakan tersebut di desa. Sosialisasi yang baik dan akuntabel dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui kerjasama dengan pihak ketiga (LSM, Perguruan Tinggi atau konsultan). Sedangkan fasilitasi secara teknis kepada desa dalam memahami dan melaksanakan kebijakan ADD dapat dilakukan oleh tim fasilitasi, tim pendamping dan tim pelaksana kebijakan ADD. Tim fasilitasi merupakan tim yang dibentuk di tingkat kabupaten/kota. Tim pendamping adalah tim yang dibentuk di tingkat kecamatan. Sedangkan tim pelaksana adalah tim yang mengelola ADD secara langsung di tingkat desa.

DARIMANA SUMBER ANGGARAN ADD?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 Pasal 68 ayat 1 huruf c, sumber anggaran untuk ADD berasal dari APBD kabupaten/kota. Komponen APBD yang dialokasikan sekurang-kurangnya 10 persen bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah. Maksud dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota adalah dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam, ditambah Dana Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi belanja pegawai.

Penjelasan rinci tentang dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota adalah sebagai berikut :

  1. Dana bagi hasil pajak, yaitu hasil pajak yang dikelola pemerintah pusat seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Hasil (PPH). Jenis-jenis pajak tersebut, setelah dikumpulkan oleh pemerintah pusat secara nasional kemudian dibagi secara proposional kepada kabupaten/kota. Bagi hasil jenis pajak inilah, setelah diterima kabupaten/kota kemudian dibagi kepada desa sekurang-kurangnya 10 persen, melalui ADD.

  2. Bagi hasil pengelolaan sumberdaya alam. Negara kita memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. Sumberdaya alam ini dikelola pemerintah pusat untuk kebutuhan berbangsa dan bernegara. Hasil pengelolaan ini kemudian dibagi secara proporsional kepada seluruh kabupaten/kota. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang menerima bagi hasil pengelolaan sumberdaya alam ini, diwajibkan mengalokasikan untuk desa sekurang-kurangnya 10 persen. Alokasi dari sumber dana ini yang untuk desa dibagikan melalui ADD.

  3. Dana alokasi umum (DAU). Pemerintah daerah dalam era desentralisasi dan otonomi ini memperoleh Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat. DAU ini diberikan setiap tahun anggaran untuk menopang kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan gaji pegawai daerah, kebutuhan operasional pemerintahan dan pelayanan publik daerah. Bagian desa dari jumlah DAU yang diterima kabupaten/kota, sekurang-kurangnya 10 persen. Tetapi menurut penjelasan dalam Pasal 68 ayat 1 huruf c PP No 72/2005, jumlah 10 persen itu diambil dari DAU setelah dikurangi untuk belanja pegawai daerah.


BAGAIMANA RUMUS PEMBAGIAN ADD ITU?
Rumus pembagian ADD adalah cara yang dipakai untuk menghitung besaran ADD yang akan diterima oleh setiap desa. Prinsip dasar rumus pembagian ADD ini harus sederhana, diketahui publik dan mudah dipahami serta dapat diterapkan. Rumus pembagian ADD ini harus dapat dipakai untuk menghitung besarnya ADD setiap desa berdasarkan asas :

1. Pemerataan.
Prinsip pemerataan dipakai agar setiap desa dalam suatu wilayah kabupaten/kota memiliki kemampuan keuangan desa yang rata-rata sama

2. Keadilan.
Prinsip ini dipakai untuk mendukung setiap desa dalam mengelola potensi dan kendala atau keterbatasan yang dimiliki. Untuk mencapai prinsip keadilan tersebut, rumus pembagian ADD dilengkapi dengan variabel-variabel yang mencerminkan keadilan. Variabel keadilan ini merupakan data kenyataan dalam aspek sosial dan fisik yang secara umum dimiliki oleh desa.

Dari prinsip keadilan dan pemerataan tadi, jika disusun dalam kalimat ringkas, hasilnya sebagai berikut :

ADD = Pemerataan + Keadilan


Prinsip tersebut jika dirangkai menjadi suatu rumus untuk membagi besaran ADD, sebagaimana tercantum dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 140/640/SJ Tanggal, 22 Maret 2005 dapat dirumuskan seperti berikut ini:

(1) Rumus pembagian ADD :

ADDx = ADDM + ADDPx


Keterangan:
ADDx : Alokasi Dana Desa yang diterima desa x
ADDM : Alokasi Dana Desa Minimal/Merata yang diterima setiap desa
ADDPx : Alokasi Dana Desa Proporsional yang diterima desa x Dari rumus tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Besarnya ADD setiap desa (ADDx), secara prinsip jumlahnya sama.

Besaran ADD yang sama ini disebut sebagai Alokasi Dana Desa Minimal/Merata (ADDM). Tetapi, karena kondisi dan potensi desa tidak sama atau terjadi kesenjangan, maka tiap-tiap desa diberi tambahan dana yang jumlahnya tidak sama. Tambahan dana itu disebut sebagai dana proporsional (ADDPx). Bagaimana menghitung dana tambahan untuk tiap-tiap desa secara proporsional? Berikut ini rumusannya.

(2) Rumus menghitung ADDPx

ADDPx = BDx x (ADD - SADDM)


Keterangan :
BDx : Nilai bobot desa untuk desa x
ADD : Total ADD untuk kabupaten/kota
SADDM : Jumlah seluruh ADD Minimal/Merata

Rumus tersebut pengertiannya sebagai berikut. Setelah total ADD untuk kabupaten/kota dikurangi jumlah seluruh ADD Minimal, maka hasilnya adalah jumlah Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP). Jumlah ADD Proporsional untuk setiap desa, dihitung dengan menentukan terlebih dahulu nilai bobot desa untuk desa tersebut (BDx). Apa itu nilai bobot desa? Nilai bobot desa adalah nilai desa atau rangking desa yang diukur melalui beberapa variabel keadilan. Sehingga nilai bobot desa (BDx) dapat dihitung dengan rumus berikut ini.

(3) Rumus menghitung nilai bobot desa
Dengan diketahui nilai bobot desa seperti dirumuskan tadi, maka pembagian jumlah ADD untuk setiap desa dapat dilakukan berdasarkan asas pemerataan dan asas keadilan.

BDx = (nilai jumlah penduduk miskin) + (nilai jumlah fasilitas pendidikan) + (nilai jumlah fasilitas kesehatan) + (nilai keterjangkauan desa)


BAGAIMANA CARA MEMPEROLEH INFORMASI KEBIJAKAN ADD?
Kebijakan ADD merupakan kebijakan daerah, dengan payung hukum Peraturan Daerah (PERDA) atau Peraturan Bupati (PERBUP). Masyarakat harus tahu dan bisa memperoleh payung hukum kebijakan ADD ini. Setelah payung hukum kebijakan daerah ini diperoleh, langkah berikutnya adalah memastikan bahwa Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) mencantumkan pelaksanaan kebijakan ADD. Untuk itu dokumen RKPD ini juga harus diketahui oleh masyarakat luas (UU No.28 Tahun 1999).

Setelah memastikan bahwa kebijakan ADD tercantum dalam RKPD, langkah berikutnya mencari informasi di dalam dokumen Kebijakan Umum APBD (KUA). Dalam dokumen KUA ini, seperti diatur oleh Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sudah dapat diketahui ADD menjadi prioritas kebijakan pemerintah daerah dengan plafon anggaran yang besarnya sudah ditentukan. Dokumennya disebut PPA (Prioritas dan Plafon Anggaran). Dengan mengetahui adanya dokumen KUA dan PPA, masyarakat selanjutnya dapat memperoleh Surat Edaran Bupati tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) untuk setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Dalam SE Bupati ini akan diketahui instansi yang ditugasi untuk mengelola pelaksanaan ADD. Setelah diketahui instansi pengelola pelaksanaan ADD (biasanya Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa), masyarakat dapat memastikan bentuk kegiatan pelaksanaan ADD dan besaran anggaran yang direncanakan. RKA tentang ADD yang disusun SKPD ini masih bersifat alokasi belanja untuk APBD, belum dibagi ke tiap-tiap desa.

BAGAIMANA CARA DESA MEMPEROLEH ADD?
Desa dapat memperoleh ADD, jika pihak SKPD/Dinas di Kabupaten/Kota yang mengelola kebijakan ADD (biasanya Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa) telah melaksanakan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) sesuai yang terangkum dalam APBD. Keberadaan Tim Fasilitasi ADD di SKPD/dinas, berperan penting dalam membagi ADD ke seluruh desa dengan memakai rumus pembagian ADD.

Setelah hasil perhitungan pembagian ADD untuk setiap desa diketahui, maka ADD siap untuk ditransfer ke desa. Pada prinsipnya desa dapat memperoleh ADD melalui pemerintah desa. Pemerintah desa dalam memperoleh ADD ini harus mencantumkan terlebih dahulu di APBDes yang diperkuat dengan PERDES.

Sedangkan secara teknis pencairan ADD ini diantaranya dilengkapi dengan mekanisme pembuatan rekening, pengajuan, penyimpanan, penggunaan dan sebagainya. Mekanisme teknis ini diatur dalam SK Bupati tentang pedoman teknis pengelolaan ADD.

BAGAIMANA DESA MENGELOLA ADD?
Dalam pengelolaannya, semua proses harus dijalankan melalui musyawarah desa. Mulai dari menggali kebutuhan, merencanakan APBDes (dimana ADD termasuk di dalamnya), pelaksanaan, pengawasan serta evaluasi. Mekanisme yang transparan dan melibatkan masyarakat ini membangun proses demokratisasi, sehingga dapat mencapai tujuan untuk kesejahteraan masyarakat desa.

APA SAJA PRINSIP DASAR DALAM MENGELOLA ADD?
Pengelolaan ADD harus menyatu di dalam pengelolaan APBDes, sehingga prinsip pengelolaan ADD sama persis dengan pengelolaan APBDes, yang harus mengikuti prinsipprinsip good governance:

Partisipatif
Proses pengelolaan ADD, sejak perencanaan, pengambilan keputusan sampai dengan pengawasan serta evaluasi harus melibatkan banyak pihak. Artinya, dalam mengelola ADD tidak hanya melibatkan para elit desa saja (Pemerintah Desa, BPD, Pengurus LKMD/RT/RW ataupun tokoh-tokoh masyarakat), tetapi juga harus melibatkan masyarakat lain seperti petani, kaum buruh, perempuan, pemuda, dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam musrenbangdes di Desa Tanjungan-Klaten, agar seluruh pihak dapat terlibat maka musyawarah dilakukan di lapangan terbuka (bukan di kantor desa) pada malam hari. Bahkan anakanak pun dapat difasilitasi keterlibatannya melalui kegiatan menggambar. Mereka diminta untuk menggambarkan desa seperti apa yang mereka harapkan sekaligus menyampaikan apa saja sarana yang mereka butuhkan.

Transparan
Semua pihak dapat mengetahui keseluruhan proses secara terbuka. Selain itu, diupayakan agar masyarakat desa dapat menerima informasi mengenai tujuan, sasaran, hasil, manfaat yang diperolehnya dari setiap kegiatan yang menggunakan dana ini. Sebagai contoh, pada beberapa desa di Sanggau-Kalimantan Barat, catatan/hasil dari setiap pertemuan, perencanaan dan penggunaan anggaran di kampung ditempelkan di tempat-tempat umum, sehingga seluruh masyarakat dapat membacanya.

Akuntabel
Keseluruhan proses penggunaan ADD, mulai dari usulan peruntukkannya, pelaksanaan sampai dengan pencapaian hasilnya dapat dipertanggungjawabkan di depan seluruh pihak terutama masyarakat desa. Sebagai contoh, di Desa Wiladeg-Gunung Kidul dalam setiap pembahasan program dan anggaran dilakukan oleh pemerintah desa beserta masyarakat dan disiarkan langsung melalui radio komunitas. Sehingga masyarakat bisa memahami argumentasi setiap pos-pos anggaran dan keluaran yang dicapai.

Kesetaraan
Semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan ADD mempunyai hak dan kedudukan yang sama. Sebagai contoh, di Komunitas Sedulur Sikep (masyarakat Samin) - Jawa Tengah, ketika membahas suatu persoalan, maka setiap orang memiliki hak bicara yang sama dan terdapat semacam aturan bahwa setiap orang harus mempunyai pendapatnya sendiri untuk masalah yang dibahas.

BAGAIMANA PERENCANAAN DESA SECARA PARTISIPATIF?
Sebagai langkah awal, desa harus terlebih dahulu merencanakan penggunaan APBDes (dimana ADD masuk ke dalamnya) berdasarkan penggalian kebutuhan dari masyarakatnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan masa lalu, dimana program untuk desa direncanakan dan ditetapkan dari atas (oleh dinas/instansi pemerintah kabupaten/kota terkait), bukan berasal dari kebutuhan yang sebenarnya di desa.

Sehingga, meskipun programnya baik tetapi sering tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh desa. PP No.72 Tahun 2005 pasal 64, mengamanatkan setiap desa harus menyusun RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) 5 tahunan. Dan selanjutnya RPJMDes dirinci menjadi RKPDes (Rencana Kerja Pembangunan Desa) Tahunan. Secara umum, tahapan yang biasa dilakukan dalam proses perencanaan dan penganggaran RKPDes adalah sebagai berikut:

Dengan adanya ADD, desa memiliki tambahan dana yang lebih besar, sehingga bisa lebih leluasa untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat desa. Selain itu, yang terpenting masyarakat dapat langsung merealisasikan beberapa kebutuhannya yang kemudian dituangkan dalam dokumen perencanaan di desa.

BAGAIMANA ADD MEMIHAK KE MASYARAKAT DESA?
ADD harus berpihak kepada masyarakat desa, jangan sampai mengulang kesalahan masa lalu dimana bantuan-bantuan yang diperoleh dari dinas/instansi pemerintah kabupaten/kota untuk desa selain tidak menjamin keberlanjutannya juga tidak disertai kewenangan yang luas untuk memanfaatkan sesuai dengan kebutuhan desanya. Akibatnya, program itu tidak berhasil karena mengabaikan keberadaan desa sebagai pemerintahan yang bisa menjalankan fungsi yang lebih baik dalam mendorong partisipasi masyarakatnya. Dengan ini, maka pemerintah desa akan benar-benar menjalankan fungsinya, melayani masyarakat desa.

Agar ADD dapat secara nyata berpihak ke masyarakat desa, minimal 70% dari ADD harus digunakan untuk pelaksanaan pembangunan baik fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Dan sisanya, maksimal 30%, untuk belanja rutin/operasional seperti : Bantuan Tunjangan Aparat Pemerintah Desa, Bantuan Tunjangan Anggota BPD, Biaya Operasional Sekretariat Desa, Biaya Operasional Sekretariat BPD, dan Biaya Perjalanan Dinas. Umumnya, pengaturan mengenai pos penggunaan ADD di setiap desa telah diatur oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Untuk gaji Kepala Desa dan Perangkat Desa dialokasikan dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Sebagaimana diatur dalam Surat Kawat Mendagri No. 140/1841/SJ tanggal 17 Agustus 2006. Berdasarkan kebutuhan nyata serta ketentuan tentang porsi pembagian tersebut (70% ; 30%), maka dana ini dapat digunakan sebesar-besarnya untuk pemberdayaan demi kesejahteraan masyarakat desa.

BAGAIMANA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DI DESA?
Untuk mengelola ADD, desa harus mempersiapkan kelembagaan yang terdiri dari tim pelaksana, tim pengawas dan tim evaluasi secara khusus. Tim-tim tersebut dibutuhkan agar ADD dapat terkelola dengan baik dan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Karena, berbeda dengan masa lalu dimana bantuan untuk desa dari pemerintah daerah kabupaten/kota secara kelembagaan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah kabupaten/kota tersebut, maka dengan ADD pelaksana program adalah perangkat desa bersama masyarakat desa.

Umumnya yang terjadi, kelembagaan pengelola ADD untuk tingkat kabupaten/kota diserahkan kepada kabupaten/kota terkait. Demikian pula dengan desa, dimana kelembagaan pengelola ADD juga diserahkan kepada kepala desa atau yang setingkat. Yang terpenting dalam tim pengelola ADD tersebut, adalah mengupayakan agar proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan ADD tidak memakan proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit.

BAGAIMANA MENGAWASI DAN MENGEVALUASI ADD?
Pengawasan adalah kegiatan mengumpulkan informasi tentang perkembangan atau pelaksanaan sebuah kegiatan. Pengawasan biasanya dilakukan secara berkala selama proses berlang-sungnya kegiatan terkait. Sedangkan evaluasi adalah kegiatan menilai secara keseluruhan apakah sebuah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau kegiatan yang telah disusun sebelumnya. Evaluasi biasanya dilakukan pada akhir suatu kegiatan Secara umum, pelaksanaan ADD diawasi oleh tim Pembina di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Namun, karena ADD menjadi bagian dari penerimaan desa yang dipertanggungjawabkan kepada BPD serta masyarakat desa secara terbuka, maka seluruh pihak terutama masyarakat perlu terlibat secara aktif untuk mengawasi dan mengevaluasi :

Apakah ADD telah digunakan sesuai dengan yang direncanakan? Apakah ada kemungkinan indikasi penyalahgunaan dana dari ADD tersebut? Dan lain-lain sesuai dengan kesepakatan masyarakat desa Pengawasan dan evaluasi dapat dilakukan melalui berbagai macam cara. Diantaranya seperti pertemuan kampung, pertemuan kelompok (seperti kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok usaha bersama, dll), kunjungan lapangan, studi banding ke desa lain maupun hanya dengan mempelajari dokumen tertentu (misalnya dokumen mengenai perencanaan awal penggunaan ADD hasil musyawarah pemerintah desa, BPD serta masyarakat desa, ataupun dokumen mengenai kebijakan terkait)

Karena ADD merupakan bagian yang menyatu dengan APBDes, maka pengawasasan ADD juga sekaligus sebagai pengawasan Pelaksanaan APBDes. Dengan ini maka ADD memberikan peluang lahirnya proses demokrasi di desa demi tercapainya desa yang mandiri.

*****


Materi di atas di ambil dari ebook yang berjudul Buku Saku ADD. Untuk lebih jelasnya, silahkan unduh file pdf-nya di di sini

Ekonomi Perdesaan Dan Peranan Pemerintah

Pembangunan sektor-sektor perdesaan (= tradisional; agrokompleks) dapat mendorong pertumbuhan sektor industri melalui penyediaan bahan pangan yang cukup, tenaga kerja, pemanfaatan sumberdaya lahan dan modal. Pola pembangunan pertanian (seperti di Jepang ) dapat menganut pola Rural Sector-Led Growth. Peningkatan produktivitas sektor-sektor perdesaan dapat memberikan rangsangan bagi pengembangan produksi industri barang-barang konsumsi. Ada dua unsur penting yang berperan dalam konteks ini. Pertama, pemanfaatan teknologi berlandaskan kemajuan llmu pengetahuan (change from resource base to science agricultural  development), yang didukung oleh pengembangan kapital dalam bentuk prasarana irigasi dan transportasi, kredit pertanian, pengembangan industri pupuk, lembaga penyuluhan dan pemasaran. Ke dua, kebijakan nilai tukar petani yang memadai. Pengembangan industri memerlukan akumulasi kapital, yang terjadi karena peningkatan produktivitas sektor-sektor agrokompleks melalui inovasi teknologi padat karya (labor intensive innovation). Interaksi sektor pertanian (pedesaan) dengan sektor industri (perkotaan) bukan saja ditandai oleh arus modal, tetapi juga arus perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. 

Pembangunan ekonomi Indonesia telah menimbulkan dampak serius, yaitu antara lain  kesenjangan pembangunan antara sektor perkotaan dan perdesaan atau sektor modern dengan sektor tradisional (sektor-sektor kerakyatan). Untuk mengatasi masalah ini, harus diprioritaskan upaya-upaya untuk memperkuat sektor-sektor  tradisional dan kerakyatan dan pemerintah menjadi fasilitator penggeraknya. Sektor-sektor ini harus terbuka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan dan kesempatan-kesempatan domestik dan global. 

Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, maka sektor-sektor kerakyatan (tradisional dan pedesaan) harus menjadi kuat; dan untuk itu sangatlah dibutuhkan pemerintahan yang kuat. Hal ini berarti pemerintah perlu menyusun rencana yang rasional, dan mempunyai daya gerak fasilitatif yang kuat untuk pelaksanaannya. Dalam hubungan ini sangat diperlukan situasi stabil yang dinamis untuk berlangsungnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pada tahap awal campur tangan pemerintah cukup besar sehingga terlihat seperti otoriter. Tetapi sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi, negara akan menjadi semakin lebih demokratis. Keadaan semacam ini memang diperlukan karena proses transformasi dalam kondisi proses globalisasi  tidak dapat hanya didasarkan pada kebijaksanaan mekanisme pasar saja.  

Dalam sistem perekonomian Indonesia, proses transformasi berlangsung dalam  situasi ketidak-seimbangan dan respon unit-unit ekonomi tidak begitu fleksibel terhadap insentif harga karena sumberdaya tidak dapat bergerak cepat (peculiary immobile), terutama tenaga kerja. Dengan demikian untuk menjaga keseimbangan pembangunan, maka diperlukan campur tangan pemerintah. Apabila pembangunan daerah berlangsung tanpa adanya campur tangan pemerintah secara memadai, maka tingkat pembangunan akan menjadi tidak seimbang karena di daerah tertinggal lebih banyak kendala daripada faktor pendorongnya. 

STRATEGI pemberdayaan sistem perekonomian harus didukung oleh langkah-langkah sebagai  berikut:
  1. Mobilisasi sumber keuangan (financial resources mobilization). Untuk  mendorong akumulasi modal di perdesaan, maka perlu dibangun lembaga ekonomi rakyat yang mengakar dan mandiri. Lembaga ini digunakan bagi peningkatan tabungan masyarakat dan investasi untuk diversifikasi ekonomi rakyat di pedesaan. Lembaga ini dikelola secara amanah dan profesional oleh  tenaga-tenaga muda desa, yang didampingi oleh “supervisor”  tenaga terdidik perbankan. Peranan pemerintah adalah pendidikan dan   pelatihan tenaga-tenaga muda perbankan, bekerja-sama dengan lembaga -lembaga perbankan. Untuk memberdayakan kelembagaan ekonomi ini diperlukan kebijakan publik yang memihak kepada rakyat banyak. 
  2. Nilai  Tukar Desa (Terms of trade). Nilai tukar desa yang tinggi perlu diupayakan pemerintah melalui keterpaduan ekonomi pedesaan ke dalam  reformasi nasional dan internasional. Untuk   itu perlu ketersediaan prasarana komunikasi dan teknologi tepat guna. Upaya lainnya ialah peningkatan kelancaran arus barang dan jasa. Untuk itu alokasi dana pembangunan perlu ditekankan pada pembangunan prasarana fisik dan perbaikan sistem transportasi ke wilayah perdesaan yang langsung berkaitan dengan kegiatan ekonomi rakyat. Sasarannya adalah rendahnya biaya transpor dan peningkatan keuntungan yang diterima oleh pengusaha-pengusaha di desa. 
  3. Program Paritas Pendapatan (Income Parity Program). Maksud dari kebijaksanaan sektor-sektor perdesaan ini adalah   menjaga kesetimbangan tingkat pendapatan antara perdesaan dan  perkotaan. Program ini terdiri atas: (a). pengembangan struktur ekonomi pedesaan   untuk mencapai skala ekonomi.  (b). perluasan sistem produksi secara selektif, yang sesuai dengan perubahan permintaan. (c) kebijaksanaan harga pangan untuk pemantapan nilai tukar produk-produk perdesaan. 
  4. Peningkatan kemampuan teknologi tepat guna. Kemampuan teknologi perlu diarahkan untuk pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam di   pedesaan. Alokasi dana dan anggaran pembangunan untuk biaya penelitian   (research and development) teknologi desa perlu  mendapat prioritas. Pola penelitian partisipatif perlu dikembangkan, bekerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan swasta. 
  5. Pemberdayaan kelompok-kelompok fungsional masyarakat di wilayah perdesaan menjadi “Receiving Systems” yang mampu mengakses dan mengadopsi berbagai peluang inovasi dari berbagai sumber inovasi yang umumnya berada di wilayah perkotaan.

Dari Ilmu Berkompetisi Ke Ilmu Berkoperasi*)

Pendahuluan
Ketika memenuhi undangan IKOPIN Jatinangor untuk memberikan seminar tentang Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia tanggal 7 – 8 Mei 2003, kami terkejut saat mengetahui IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Ternyata pada saat berdirinya IKOPIN tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Masalah koperasi dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen yaitu bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan agar, sebagai organisasi ekonomi, memperoleh keuntungan (profit) sebesar-besarnya seperti organisasi atau perusahaan-perusahaan lain yang dikenal yaitu perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN).

Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang dan lantai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. 

Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi. Terakhir, kata koperasi yang disebut sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan dihapus dari UUD 1945 ketika ST-MPR 2002 membuat putusan “fatal” menghapuskan seluruh penjelasan atas pasal-pasal UUD 1945 dengan alasan tidak masuk akal a.l. “di negara-negara lain tidak ada UUD/konstitusi yang memakai penjelasan”. Akibat dari putusan ST-MPR 2002 adalah bahwa secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Konsekuensi lebih lanjut jelas bahwa keberadaan lembaga Menteri Negara Koperasi & UKM pun kiranya sulit dipertahankan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila.

Reformasi Kebablasan
Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakan deregulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Pemerintah memberikan kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah 100 bank.

Krismon dan krisbank jelas merupakan rem “alamiah” atas proses kemajuan dan pertumbuhan ekonomi “terlalu cepat” (too rapid) yang sebenarnya belum mampu dilaksanakan ekonomi Indonesia, sehingga sebagian besar dananya harus dipinjam dari luar negeri atau melalui investasi langsung perusahaan-perusahaan multinasional. 

Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. 

Jika dewasa ini ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan distribusinya tidak merata.

Reformasi ekonomi yang diperlukan Indonesia adalah reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya. 

Amandemen terhadap Amandemen:
Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945 melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat. Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi 5 ayat berikut:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (lama)

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama)

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (lama)

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat)

Dipertahankannya 3 ayat lama pasal 33 ini memang sesuai dengan kehendak rakyat. Tetapi dengan penambahan ayat 4 menjadi rancu karena ayat baru ini merupakan hal teknis menyangkut pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi. Pikiran di belakang ayat baru ini adalah paham persaingan pasar bebas yang menghendaki dicantumkannya ketentuan eksplisit sistem pasar bebas dalam UUD. Asas efisiensi berkeadilan dalam ayat 4 yang baru ini sulit dijelaskan maksud dan tujuannya karena menggabungkan 2 konsep yang jelas amat berbeda bahkan bertentangan.

Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.

Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33 dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.

Ilmu Ekonomi Sosial
Social economics insists that justice is a basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the historical record but societies that lack widespread conviction as to their justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164)

Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan.

Yang benar adalah adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs). Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa:
The isolation of one part of social reality by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142)

Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man). Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku pertamanya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia ethik.

Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak mungkin dapat dipahami secara tepat dengan semata-mata menggunakan teori ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia sendiri.

Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi, dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran. Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan.

Pakar-pakar ekonomi Indonesia hendaknya tidak cenderung mencari gampangnya saja tetapi dengan bekerja keras dengan kecerdasan tinggi mengadakan penelitian-penelitian empirik untuk menemukan masalah-masalah konkrit yang dihadapi masyarakat dan sekaligus menemukan obat-obat penyembuhan atau pemecahannya.

Penutup
Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.

Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi, akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi.
The nature of homo ethicus is completely different and indeed opposite to that of homo economicus. He is altruistic and cooperative individual, honest and truth telling, trusty and who trust others. He derives moral and emotional well-being from honouring his obligations to others, has a strong sense of duty and a strong commitment to social goals (Lunati, 1997:140)

Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal.

3 Juni 2003

Bibliografi
Hill, Polly, 1975. A Plea for Indigenous Economics: The Western African Examples 
Hunt, E.K. History of Economic Thought: A critical Perspective,  1979. California, Wadsworth Publishing Company, Inc.
Keynes, John Maynard, 1935, The General Theory of Employment, Interest, and Money, London. Macmillan & Co.,
Ltd.
Lunati, M. Teresa, 1997, Ethical Issues in Economics: From Altruism to Cooperation to Equity, MacMilalan, London.
Mubyarto & Bromley, 2002. A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFEUGM.
Mubyarto, Hudiyanto, & Agnes Mawarni, Ilmu Koperasi, (konsep), akan terbit.
Myrdal, Gunnar, 1975. Against the Stream: Critical Essays on Economics, New York, Vintage Books.
Smith, Adam. 1759. The Theory of Moral Sentiments, Washington D.C. Regnery Publishing.
Stanfield, J. Ron, 1979, Economic Thought and Social Change, London and Amsterdam, Feffer & Simons, Inc.

*) Oleh: Prof. Dr. Mubyarto
Disampaikan pada Seminar Bulanan ke-5 PUSTEP-UGM, Yogyakarta 3 Juni 2003. 

Pembangunan Pertanian dan Perekonomian Pedesaan Melalui Kemitraan Usaha Berwawasan Agribisnis

Pendahuluan
Usaha tani di Indonesia didominasi oleh usaha tani keluarga skala kecil yang sangat lemah dalam berbagai bidang, seperti keterbatasan dalam menguasai asset produktif, modal kerja, posisi tawar-menawar dan kekuatan politik ekonomi, sehingga tidak dapat berkembang mandiri secara dinamis. Petani kecil sangat tergantung pada golongan petani lahan luas atau pedagang untuk memperoleh asset produktif (lahan, peralatan), modal kerja dan perolehan sarana produksi. Demikian juga dalam penjualan hasil petani sangat tergantung pada pedagang hasil. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan petani melalui pengembangan kelompok tani dan melalui kemitraan usaha agribisnis konsolidatif sebagai langkah strategis.

Petani adalah pelaku utama yang harus diberdayakan. Tahap awal yang perlu ditempuh untuk memberdayakan petani adalah membentuk kelembagaan berupa kelompok tani yang merupakan organisasi kerja sama. Kerjasama sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi yang pada dasarnya sangat sulit bila dihadapi secara individu. Selama ini petani lemah dalam menentukan harga produksinya karena sulit mendapat akses informasi pasar. Dalam hal ini petani harus melakukan konsolidasi yang bersifat horizontal. Selanjutnya melalui penyuluhan (pendidikan dan latihan) yang berkelanjutan terhadap kelompok yang mendapat pembinaan tersebut diharapkan menghasilkan sumberdaya manusia petani yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berusaha tani.

Untuk dapat berusaha tani lebih teratur dan terarah maka kelembagaan kelompok tani perlu menjalin kerja sama dan kemitraan dengan pihak luar/usahawan. Keterkaitan dan kerja sama kelembagaan kelompok tani dengan pihak swasta/usahawan dapat terjalin secara baik bila terdapat saling ketergantungan dan kerjasama yang bersifat simetri serta saling menguntungkan.

Peran pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program diharapkan dapat mendorong dan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menggairahkan petani/kelompok tani maupun pihak swasta/usahawan, sehingga agribisnis dapat berkembang. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai fasilitator, regulator, motivator yang harus menserasikan hubungan antar pelaku agribisnis tersebut, sehingga para pelaku dapat berinteraksi secara proporsional dan tidak terjadi eksploitasi yang bersifat kontradiktif. Para pelaku usaha bisa meraih keuntungan yang seimbang.

Dengan terjadinya keterpaduan berbagai unsur tersebut (kelompok tani, swasta/usahawan dan pemerintah) diharapkan agribisnis yang bersifat konsolidatif vertikal atau kemitraan tersebut dapat berkembang.

Pengembangan Kelembagaan Kelompok Petani
Pengembangan kelembagaan kelompok petani sangat dibutuhkan untuk pemberdayaan petani untuk dapat tumbuh berkembang secara dinamis dan mandiri sebagai langkah kunci dalam mewujudkan strategi pembangunan pedesaan berbasis pertanian. Dengan penguatan kelembagaan kelompok petani, masyarakat tani memiliki daya atur diri yang menimbulkan ketaatan (comformity) terhadap norma-norma yang telah diakui bersama.

Kemajuan masyarakat pertanian dan pedesaan serta kemajuan ekonomi yang berkembang cepat seperti pada kasus di Korea, Jepang dan Vietnam dilatarbelakangi oleh keorganisasian kelompok tani yang relatif kuat. Sistem keorganisasian ekonomi kelompok petani yang mandiri dan kuat dapat mudah dikembangkan bila struktur penguasaan lahan pertaniannya relatif merata. Menurut Krisnamurthi (2003) yang dikutip Trubus, 80 persen keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh kapasitas dan kualitas petaninya. Namun pemerintah perlu dilibatkan terutama untuk membangun berbagai infrastruktur pendukung (jaringan jalan, irigasi, telekomunikasi, listrik dan lain-lain).

Kelembagaan merupakan faktor penting dalam mengatur hubungan antar manusia untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Meskipun secara ekonomik menguntungkan karena produktivitas yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih rendah, tetapi inovasi dalam bentuk usahatani berkelompok bukan merupakan suatu yang bersifat teknis di mana mekanisme yang begitu saja dapat diadopsi oleh petani seperti mengadopsi komponen teknologi fisik (pupuk, pestisida, alat dan lain-lain). Usahatani berkelompok merupakan inovasi yang proses adopsinya melalui suatu proses partisipasi dalam membangun kemampuan kelompok tani untuk mengelola rencana kerja yang telah disusunnya untuk mencapai tujuan bersama.

Perkembangan kelembagaan selayaknya dapat berlangsung secara alamiah. Dalam hal ini campur tangan pemerintah hendaknya bersifat konsultatif fasilitatif dan pengembangan sistem insentif. Pada akhirnya pengembangan dan peranan kelompok tani merupakan perwujudan kekuatan sosial petani berswadaya untuk mencapai kemandirian.

Berdasar uraian di atas untuk dapat memanfaatkan sesuatu hal yang secara ekonomi menguntungkan diperlukan suatu bentuk atau organisasi kerja sama yang membuat masyarakat mampu mengembangkan respon yang sesuai dengan logika yang implisit terbawa oleh kondisi atau "iklim” ekonomi yang menguntungkan.

Proses pembangunan (ekonomi) suatu bangsa secara implisit mensyaratkan adanya transformasi pertanian tradisional menjadi pertanian maju atau modern. Dalam proses transformasi itulah pola partisipasi memainkan peranannya. Pertanian maju adalah pertanian yang berkemampuan untuk terus-menerus menyesuaikan diri dengan tantangan dan permintaan pasar yang senantiasa berubah.

Perencanaan kuantitatif ekonomi pertanian Indonesia belum memungkinkan dilakukan selama sektor pertanian (rakyat) belum mampu untuk menumbuhkan partisipasi petani secara menyeluruh. Kekuatan yang menghasilkan momentum untuk membangun itu adalah kemampuan untuk mengelola unit organisasi ekonomi yang cukup “besar” yang dapat berbentuk koperasi kelompok tani atau koperasi agribisnis yang mampu menjalin kerja sama dengan perusahaan (industri) yang mengolah hasil pertanian.

Kemampuan manajemen yang didukung oleh partisipasi aktif dari para petani itu merupakan syarat yang diperlukan bagi tumbuh dan berkembangnya industri/perusahaan pertanian (agroindustri) di pedesaan yang terkait secara terpadu dengan kehidupan dan perkembangan usahatani. Dengan demikian akan terbangun suatu pola kemitraan usaha yang saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan.

Membangun Pola Kemitraan Usaha
Salah satu hambatan utama untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi adalah lemahnya “bangunan” kelembagaan kemitraan agribisnis terutama yang dijalankan oleh dan di masyarakat pedesaan. Dewasa ini sebagian pelaku agribisnis adalah petani di pedesaan dan hampir semuanya merupakan kegiatan usaha tani yang dikelola dengan pola usaha keluarga. Kemitraan usaha yang menonjol di tingkat desa adalah kemitraan horizontal, antara lain berupa kerja sama kelompok tani, sedangkan hubungan buruh-majikan, atau bapak-anak angkat.

Peran kemitraan usaha adalah pada kemampuan kerja sama yang lebih teratur dan terarah, sehingga pengembangan sistem agribisnis mempunyai daya guna yang lebih tinggi dan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan pelaku-pelaku agribisnis di pedesaan. Dihasilkannya produk pertanian berdaya saing tinggi, dapat dipandang sebagai interaksi sinergis dari komponen budaya material, peran kewirausahaan dan kelembagaan (kemitraan yang terbangun dengan baik). Struktur organisasi ekonomi masyarakat pedesaan sangat rapuh dan hal itu tercermin dari posisi pelaku ekonomi pedesaan yang tidak “memiliki” kekuatan memadai untuk melakukan bargaining position dengan pelaku ekonomi di luar desa. Lemahnya bargaining position tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kelemahan dalam pengorganisasian kelompok tani, penguasaan permodalan usaha, interdependensi yang sangat timpang antar pelaku ekonomi pedesaan dengan luar pedesaan.

Pola keorganisasian kemitraan yang ada dewasa ini, yaitu program pemerintah (inti-plasma), tradisional (patront client) dan pasar (“rasional”) masih menempatkan petani pada posisi yang tereksploitasi secara sangat tidak adil. Pola pemerintah menunjukkan terlalu dominannya intervensi pemerintah dan pada umumnya menempatkan plasma pada posisi yang lemah. Pola tradisional sulit menumbuhkan semangat dan kreativitas serta mengembangkan diri, sedangkan pola pasar menyebabkan besarnya ketergantungan petani terhadap usahawan dan dapat menimbulkan konglomerasi. Bagi pengembangan agribisnis “kecil” masalah yang sering dihadapi terutama adalah ketidakseimbangan rebut tawar (bargaining position) dan adanya intransparansi bisnis. Oleh sebab itu peran pemerintah selain sebagai regulator dan pemberi insentif, juga perlu diarahkan untuk membantu pengembangan kegiatan kemitraan usaha agribisnis kecil.

Karakteristik usaha tani di Indonesia dicirikan oleh sifat usaha skala kecil dikelola secara independen dan menyebar dalam kawasan yang luas (dispersal). Konsekuensinya adalah volume produksi terbatas, kualitas produk dan waktu panen bervariasi serta biaya pengumpulan produk relatif besar sehingga kurang kondusif bagi pengembangan agroindustri dan sistem pemasaran yang efisien. Dampak integratifnya adalah tingginya biaya pemasaran sehingga akan menekan pangsa harga yang diterima petani dan mengangkat tingkat harga yang dibayar konsumen. Akibatnya adalah permintaan dan penawaran produk usaha tani akan menurun, sehingga menghambat perkembangan agribisnis.

Berdasarkan pada permasalahan tersebut maka strategi kemitraan usaha yang tepat untuk mendorong mengembangkan agribisnis di pedesaan adalah kemitraan usaha melalui konsolidasi vertikal. Usaha tani skala kecil dikonsolidasikan oleh suatu usaha agroindustri atau pemasaran dalam suatu usaha kemitraan sehingga tercipta satu unit industri pertanian (agroindustri). Pola kemitraan haruslah didasarkan pada kesadaran semua pihak bahwa mereka saling membutuhkan dan hanya dapat tumbuh bersama sehingga harus bermitra dengan prinsip transparan, adil, patuh aturan kesepakatan dan terpercaya.

Pengembangan unit agroindustri merupakan strategi dasar pengembangan agribisnis di pedesaan. Pengembangan unit agroindustri merupakan strategi operasional yang tepat sebagai implementasi dari konsep pengembangan wilayah pedesaan yang tertata (agropolitan). Mengingat pasar tidak selamanya sempurna dan adanya senjang informasi, maka pembentukan agroindustri haruslah dipacu melalui peran aktif pemerintah yang bertindak sebagai inisiator gagasan, mediator, fasilitator, pelindung dan regulator yang jujur, adil dan bijaksana.

Konsep agropolitan pada dasarnya adalah pengembangan wilayah pedesaan terkelola dengan luasan sekitar 30 ribu hektar dan berpenduduk maksimum 600.000 orang. Daerah pedesaan dikembangkan berdasarkan pewilayahan komoditas unggulan utama yang menghasilkan bahan baku untuk pengembangan agroindustri di daerah perkotaan. Struktur agroindustri harus mampu menjamin efisiensi dan daya saing serta bersifat konstruktif.

Kemitraan adalah kerja sama antara usaha kecil dan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Untuk menjalin kemitraan, petani perlu disiapkan dalam arti ditingkatkan kemampuannya baik dari aspek keorganisasian, manajemen, dan permodalannya supaya bisa bermitra dengan yang lebih kuat. Suatu usaha dapat berkembang dengan baik bila dapat diidentifikasi dengan baik berbagai faktor yang mempengaruhinya baik faktor internal (pendorong dan penghambat) dan eksternal (peluang dan tantangan). 

Pengembangan kelembagaan kemitrausahaan dapat dipandang sebagai komplemen dari konsolidasi segmen-segmen kegiatan pertanian. Pada kelembagaan kemitrausahaan, kegiatan pertanian selain bisa diarahkan untuk meningkatkan pencapaian efisiensi ekonomi, juga bisa untuk tujuan peningkatan pemerataan dan keadilan.

Dengan konsolidasi segmen-segmen kegiatan pertanian “usaha tani” dapat menjadi satu kesatuan dengan industri “pengolahan hasil”. Dengan konsolidatif ini, friksi antar kegiatan tersebut dapat ditekan sekecil mungkin. Gejala umum yang tidak sehat seperti harga bahan baku (hasil usaha tani petani) yang ditekan oleh pengusaha pengolah hasil pertanian tidak lagi dijumpai. Peningkatan efisiensi dapat dimulai dari konsolidasi lahan usaha tani, untuk dikelola secara kolektif. Beberapa manfaat adanya konsolidasi usaha tani ini antara lain:
  1. Seluruh rangkaian kegiatan fisik dapat diselenggarakan di pedesaan sehingga pengembangan pertanian berimpit dengan pengembangan ekonomi pedesaan.
  2. Teknologi dan modal untuk pengembangan pertanian bisa langsung diarahkan dan disalurkan ke pedesaan.
  3. Sumberdaya pertanian di pedesaan, misalnya lahan bisa dikelola secara lebih efisien.
  4. Mendorong perekonomian desa berkembang lebih pesat, sehingga dapat membendung mengalirnya tenaga-tenaga kerja muda yang potensial dari pedesaan ke kota.


Mengembangkan Agribisnis Konsolidatif
Ciri-ciri sebagian besar usaha tani Indonesia adalah (1) merupakan usaha keluarga skala kecil sehingga volume produksi per usaha tani sangat kecil, (2) usaha tani dikelola secara independen sehingga kualitas produk yang dihasilkan dan waktu panen bervariasi antar petani; (3) Usaha tani tersebar dalam kawasan luas (dispersal) sehingga biaya pengumpulan hasil produksi besar pula dan juga sistem pemasaran hasil tidak efisien; (4) volume kecil merupakan penghambat eksploitasi skala ekonomi; (5) kualitas yang beragam membuat ongkos standarisasi tinggi; dan (6) tiadanya kepastian informasi mengenai kualitas dan waktu panen menciptakan ongkos pencarian dan risiko kesalahan informasi.

Dengan demikian, strategi yang tepat untuk mendorong perkembangan agribisnis di pedesaan ialah agribisnis konsolidatif, usaha kecil dikonsolidasikan, sehingga sistem ekonomi dualistik yang selama ini mendominasi usaha pertanian di Indonesia dapat dihapuskan. Indikator sehatnya organisasi masyarakat pertanian antara lain mencakup adanya konsolidasi dan integrasi antar cabang agribisnis pertanian, interdependensi antar pelaku agribisnis pertanian dan iklim usaha yang dibangun (praktek persaingan usaha yang sehat, pencegahan praktek monopoli, kemudahan usaha, kepastian hukum dan penyelenggaraan administrasi pemerintah yang bersih dan berwibawa.

Pengembangan agribisnis konsolidatif merupakan konsolidasi secara vertikal dari sejak segmen kegiatan usaha tani, pengolahan hingga pemasaran. Dengan konsolidasi ini kegiatan pertanian “usaha tani” menjadi satu kesatuan dengan industri “pengolahan hasil”. Dengan konsolidatif ini, friksi antar segmen kegiatan agribisnis tersebut dapat ditekan sekecil mungkin. Gejala umum yang tidak sehat, seperti harga bahan baku (hasil usaha tani petani) ditekan oleh pengusaha pengolah hasil pertanian, tidak dijumpai lagi.

Beberapa manfaat yang berhubungan dengan agribisnis konsolidatif :
  1. Seluruh rangkaian kegiatan fisik agribisnis dapat dilaksanakan di pedesaan, sehingga perekonomian desa lebih berkembang.
  2. Teknologi dan kapital bisa langsung diarahkan dan disalurkan ke pedesaan.
  3. Bisa membendung mengalirnya tenaga-tenaga kerja muda yang potensial di pedesaan ke kota.
  4. Sumber daya pertanian (lahan) dapat dikelola secara lebih efisien. Pada saat ini pengelolaan usaha tani mengikuti manajemen keluarga, sehingga tidak efisien. Peningkatan efisiensi bisa dimulai dari konsolidasi lahan usaha tani untuk dikelola secara kolektif.
  5. Meningkatnya kredibilitas dilihat dari aspek perbankan dan bargaining position di bidang pemasaran hasil akhir.
  6. Pemeliharaan lingkungan dan pelestarian sumber daya setempat dapat dilakukan secara lebih efektif karena kegiatan lebih mudah diintegrasikan dengan ekosistem setempat.


Menurut Sudaryanto dan Pranadji (2000) terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang dalam kegiatan agribisnis, yaitu: (1) pola kemitraan tradisional, (2) kemitraan “pemerintah”, dan (3) kemitraan pasar. Kemitraan tradisional mengikuti pola hubungan patron-client (misal hubungan pemilik lahan dan petani penggarap. Pola kemitraan program pemerintah condong pada pengembangan kemitraan secara vertikal dengan pola hubungan “Bapak Anak Angkat” yang pada agribisnis perkebunan dikenal dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Sedangkan pola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat dari masuknya sistem ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Jenis usaha pertanian yang dibidik adalah usaha tani yang menghasilkan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini melibatkan petani dengan pemilik modal besar yang bergerak di bidang industri pengolahan dan pemasaran hasil. Mereka menggalang kerja sama (“kemitraan”) karena adanya kepentingan untuk berbagai manfaat ekonomi (mutually beneficial).

Pertanian rakyat dapat berdampingan dengan perusahaan besar dengan membina saling ketergantungan di mana petani merasa memiliki perusahaan melalui pemilikan saham. Bentuk kemitraan tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Petani produsen harus menjadi pemilik saham, sehingga secara kolektif petani menguasai tubuh agribisnis.
  2. Organisasi petani tidak dibatasi hanya pada kegiatan produksi bahan baku.
  3. Output usaha pertanian bukanlah bahan mentah yang tidak stabil melainkan komoditas olahan (akhir) dengan nilai tambah tinggi.
  4. Hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis didasarkan rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja secara organik. Azas keterbukaan dan penerapan demokrasi serta pengambilan keputusan baik melalui musyawarah ataupun pemungutan suara (voting).

Dalam rangka membangun kemitraan usaha, diharapkan turut campur pemerintah terutama dalam beberapa aspek yaitu:
  1. Mengarahkan kelembagaan ekonomi koperasi, untuk menjadi bagian dari kegiatan agribisnis.
  2. Pengkonsolidasian lahan pertanian yang terarah bahwa lahan pertanian adalah untuk usaha pertanian.
  3. Pembuatan perangkat hukum (Undang-Undang atau PP) yang mendukung berkembangnya kemitraan usaha, terutama yang ditujukan untuk melindungi hak-hak individu petani dari bahaya eksploitasi pemodal besar, dan pengrusakan lingkungan dan sumber daya alam yang menjadi basis usaha di sektor pertanian.
  4. Menciptakan prakondisi usaha seperti pengembangan prasarana ekonomi, pengkajian dan penerapan teknologi, kemudahan pelayanan perkreditan, dan pengembangan sistem informasi pasar untuk pengembangan produk pertanian.


Penutup
Kelembagaan kelompok/organisasi petani yang perlu dikembangkan meliputi: (a) organisasi untuk mengatur sumber daya milik bersama seperti organisasi petani pemakai air, pemanfaatan hutan lahan adat, (b) organisasi bisnis kooperatif yang dapat berupa kegiatan produktif kolektif (pelaksanaan/pengaturan kegiatan usaha tani, pembelian sarana produksi, pengadaan modal/kredit pemasaran hasil dan koperasi, dan (c) organisasi lobi politik ekonomi dengan membentuk asosiasi petani.

Pola kemitraan usaha yang harus dikembangkan adalah kemitraan usaha agribisnis konsolidatif yang diarahkan untuk menggantikan pola kemitraan yang berciri patronase. Dengan pola ini tidak dikenal lagi eksploitasi antar pelaku agribisnis dalam satu jaringan kegiatan agribisnis (berdasarkan output akhir), baik secara terselubung, legal dan terbuka. Pola kemitraan usaha yang terbangun diharapkan dapat saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan.

Untuk membangun ekonomi pedesaan melalui usaha-usaha pengembangan kelembagaan petani, pembangunan pola kemitraan dikaitkan dengan pengembangan agribisnis konsolidatif perlu didukung oleh pembangunan sarana/prasarana (infrastruktur) ekonomi pedesaan, pengembangan sistem inovasi pertanian, optimasi pemanfaatan sumber daya berkelanjutan, pemacuan investasi dan kebijaksanaan insentif sehingga dapat memacu pembangunan sosial ekonomi wilayah pedesaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan taraf hidup kesejahteraan petani.

Kondisi pertanian Indonesia akan tetap didominasi oleh pertanian rakyat. Untuk dapat berdampingan dengan perusahaan besar petani perlu dibina terutama dalam penguasaan teknologi, akses terhadap sumber permodalan, sehingga dapat hidup berdampingan melalui pemilikan saham secara bersama. Dalam kondisi demikian kecemburuan dan kesenjangan sosial dapat diperkecil. Ini berarti masing-masing subsistem agribisnis dapat berkembang saling menguntungkan dan saling membutuhkan secara adil, jauh dari eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Pembangunan pertanian haruslah dapat mengembangkan keseluruhan subsistem dalam sistem agribisnis ini secara simultan dan harmonis, dengan tetap memperhatikan keunikan masing-masing subsistem yang terlibat dalam proses modernisasi pertanian ini. Dalam proses ini keberadaan lembaga pelayanan dan pembinaan seperti lembaga konsultasi, lembaga keuangan pedesaan, koperasi yang merupakan hasil penggabungan kelompok tani adalah sangat penting.

Kinerja BPD dalam Era Otonomi Daerah

Otonomi daerah telah memberikan ruang gerak bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang menjadikan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga subjek pembangunan dan dengan tingkat partisipasi tersebut diharapkan akselerasi hasil-hasil pembangunan dapat segera diwujudkan dan berdayaguna dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

Partisipasi masyarakat tersebut disamping dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non formal seperti keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok kepentingan lain melalui tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah atau bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah, juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal pada tingkat daerah melalui kewenangan lebih besar pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan di tingkat desa dengan pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Ruang gerak bagi demokratisasi dan peran serta masyarakat tersebut dalam perjalanan belum berpihak secara sungguh-sungguh terhadap kepentingan masyarakat. Disadari bersama bahwa mengubah suatu sistem sosial politik ekonomi serta kelembagaan dan budaya tidak dapat terjadi dalam waktu relatif singkat (berlakunya sebuah UU tidak berarti secara otomatis mengubah sistem, politik, dan budaya masyarakat). Diperlukan adanya konsistensi, kemauan baik dari pelaksanaan UU, Kebijakan Pemerintah, kesiapan dari masyarakat dan birokrasi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat. Dengan kata lain ide-ide tentang otonomi daerah, demokratisasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia dalam pembangunan memiliki dinamika sendiri dalam implementasinya baik dipusat, daerah, dan desa. Paradigma pembangunan yang sentralistik terbukti telah gagal dan perlu dikembangkan paradigma baru yaitu paradigma pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas melalui peningkatan civil society sehingga pembangunan adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang pada akhirnya adalah Pembangunan Bangsa secara keseluruhan, dan itu hanya dapat terjadi apabila pembangunan dimulai dari “pembangunan masyarakat desa”.

Saat ini, upaya untuk membangun dan mengembangkan kehidupan masyarakat desa dirasakan semakin penting. Hal ini disebabkan disamping karena sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan, kini partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan juga sangat diharapkan, sebagaimana tercantum dalam UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah sangat mensyaratkan keadaan sumber daya manusia yang mumpuni, karena mereka inilah yang kelak akan lebih banyak menentukan bergerak atau tidaknya suatu daerah di dalam menjalankan kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya.

Daerah yang otonom sangat mensyaratkan keberadaan masyarakat yang otonom pula. Masyarakat yang otonom adalah masyarakat yang berdaya, yang antara lain ditandai dengan besarnya partisipasi mereka di dalam kegiatan pembangunan. Karena itulah, dalam era otonomi daerah yang kini mulai dilaksanakan, peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya sangat penting.

 Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono 2006: 48-59) Secara teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi, sendi-sendi tersebut meliputi: (1) sharing of power (pembagian kewenangan); (2) distribution of income (pembagian pendapatan); (3) empowering (kemandirian/ pemberdayaan pemerintah daerah).

Ketiga sendi tersebut sangat berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah, apabila sendi tersebut semakin kuat, maka pelaksanaan otonomi daerah semakin kuat pula, dan sebaliknya apabila sendi-sendi tersebut lemah, maka pelaksanaan otonomi semakin lemah pula. Ketiga sendi-sendi ini sebagai pilar-pilar otonomi telah dijabarkan dalam prinsip-prinsip otonomi yang tertuang dalam UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah maupun dalam Undang-Undang penggantinya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah telah dijabarkan tentang ketiga sendi tersebut yaitu dalam prinsip-prinsip otonomi.

Upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat daerah sebenarnya telah banyak dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai program pembangunan, antara lain: Dana Pembangunan Desa, Bantuan Inpres Desa Tertinggal, bantuan bibit dan pupuk bagi petani, Kredit Usaha Tani, Kukesra, Takesra, bantuan bergulir ternak sapi dan lain sebagainya. Namun demikian berbagai program tersebut gagal memberikan kesejahteraan warga masyarakat di daerah (desa).

Upaya perwujudan kesejahteraan melalui peningkatan peran serta masyarakat yang dilaksanakan dengan melibatkan LSM, seperti dalam program jaring pengaman sosial, dan berbagai macam program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan pada masa pemerintahan reformasi. Namun hasilnya masih belum terealisasikan bahkan ada dugaan adanya penyimpangan penggunaan dana untuk program-program pengentasan kemiskinan, bahkan laporan pertanggungjawaban kepala daerah isinya hanya menginformasikan penyelenggaraan pemerintahan daerah tanpa menyinggung laporan penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipergunakan untuk membiayai berbagai program peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pelibatan masyarakat tidak hanya dalam bidang peningkatan kesejahteraan tetapi juga dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat tersebut.

Badan Permusyawaratan Desa yang disingkat BPD pada dasarnya adalah penjelmaan dari segenap warga masyarakat dan merupakan lembaga tertinggi Desa. BPD juga merupakan pemegang dan pelaksanan sepenuhnya kedaulatan masyarakat desa. Lembaga ini memiliki urgensi yang tidak jauh berbeda dengan DPR. Karenanya agar otonomi di desa dapat berjalan secara proporsional.

A. Teori kinerja Organisasi
Konsep kinerja selalu dikaitkan dengan akuntabilitas yang berkenaan dengan check and balance kelembagaan dalam suatu administrasi. Istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan sebagai penampilan unjuk kerja atau prestasi. Prawirosentono (dalam Sinambela, 2006:136) mengemukakan ”bahwa secara etimologi kinerja berasal dari kata performance, performace berasal dari kata to perform yang mempunyai beberapa masukan (entry) yaitu: (1) Memasukkan, menjalankan, melaksanakan; (2) Memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3) Menggambarkan suatu karakter dalam suatu pemainan; (4) Menggambarkannya dengan suara atau alat musik; (5) Melaksanakan atau menyempurnakan dengan tanggungjawab; (6) Melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan; (7) Memainkan alat musik; (8) Melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Tidaklah semua masukan tersebut relevan dengan kinerja, disini hanya empat saja yakni: (1) Melakukan; (2) Memenuhi atau menjalankan; (3) Melaksanakan tanggungjawab; dan (4) Melakukan sesuatu yang diharapkan orang lain”.

Pamungkas (dalam Juliantara, 2005: 38) menyatakan bahwa Kinerja adalah penampilan cara-cara untuk menghasilkan sesuatu hasil yang diperoleh denga aktivitas yang dicapai dengan suatu unjuk kerja.

Mahsun (2006: 25) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai suatu gambaran mengenai tingkat pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi.

Kinerja organisasi didefinisikan Rue & Byars (dalam Keban, 1995: 1), sebagai tingkat pencapaian hasil (“the degree of accomplisment”), karena itu kinerja organisasi dapat dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan organisasi (Keban, 1995 : 1). Definisi lain, yang juga memandang kinerja secara internal, hanya membandingkannya dengan tujuan organisasi, dikemukakan Gordon (1993: 332) bahwa “permormance ferers specifically to performing and reaching group throught fast work speed; outcomes of high quality, accuracy and quantity; observation of rules”.

Definisi kinerja dari pemahaman secara eksternal, yang membandingkan dengan keseluruhan status organisasi dengan pesaing, pemilik dan standart eksternal dikemukakan Holloway, Lewis dan Mallory (1995 : 1) yang merumuskan konsep kinerja secara multidimensional, yaitu sebagai “the overall status of and organizaitionin relation to competitors, or aganst its own or external standar”. Cara pandang terhadap kinerja baik secara internal maupun eksternal, pada dasarnya menunjukkan perlunya suatu perhatian terhadap penggunaan standard internal dan eksternal dalam pengukuran kinerja suatu organisasi pelayanan publik.

Kinerja organisasi menurut Perry (1989 : 619-626) akan menunjuk pada efektivitas organisasi, dimana hal itu akan menyangkut pengharapan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan tujuan kebijakan. Isu efektivitas organisasi dalam kaitannya dengan kinerja organisasi, menurut Hodge, Anthony dan Gales (1996) mencakup how well the organization is doing, bagaimana suatu organisasi mencapai profit/tujuannya dan tingkat kepuasan dari para pelanggan/penguna jasa pelayanannya. Efektivitas organisasi secara internal mencakup efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dan faktor-faktor hubungan manusia (conflic, happy, satisfied) yang akan mempengaruhi produktivitas. Kinerja organisasi sebagaimana yang dikemukakan Boyatzis (dalam Perry, 1989: 619-626) dilakukan untuk mencapai specific result (outcomes).

Kinerja organisasi mempertanyakan apakah tujuan dan misi suatu organisasi telah sesuai dengan kenyataan kondisi atau faktor ekonomi, politik dan budaya yang ada. Apakah memiliki kepemimpinanan modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya. Apakah kebijakan, budaya dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan dan apakah organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan seleksi, pelatihan dan sumberdayanya.

Enyclopedi of publik Administration and Publi Policy tahun 2003 (dalam Keban, 2005:193) menjelaskan bahwa kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh Organisasi tersebut mencapai hasil ketikadibandingkan dengan kinerja terdahulu (Previous Performance), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan.

Berbagai definisi kinerja diatas, jika ditinjau dari bentuk rumusannya terdapat perbedaan, akan tetapi jika ditinjau secara mendalam terdapat persamaan konsep yaitu pada hakekatnya kinerja adalah gambaran dalam melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakan pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggung jawabnya, sehingga dapat mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Hakekat ini merupakan suatu pemahaman bahwa ruang lingkup kinerja meliputi perencanaan, proses, dan hasil yang dicapai.

Perencanaan merupakan rencana pengolahan masukan (input) yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik untuk menghasilkan keluaran (output). Perencanaan diantaranya meliputi perencanaan tujuan, visi dan misi, dan sumber daya (resource) yang dimiliki.

Proses merupakan pelaksanaan kegiatan yang berkaiatan dengan ukuran kegiatan, baik segi kecepatan, ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan, rambu-rambu yang paling dominant dalam proses adalah tingkat efektivitas, efisiensi, dan ekonomis.

Hasil (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, dapat berupa benda fisik atau non fisik. Aspek hasil menurut (Mahsun, 2006: 78) berupa outcomes yaitu tingkat pencapaian hasil yang diperoleh dalam bentuk output. Apakah output dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan besar bagi masyarakat. Benefit terkait dengan manfaat dari tujuan akhir pelaksanaan kegiatan. Impact yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif.

B. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja (Performance Measurenment) adalah suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran dan strategi, sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi, serta meningkatakan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas (Mahsun, 2006:26).

Pengukuran kinerja merupakan penilaian terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah terhadap masyarakat. Kurniawan (2005:52) mengemukakan bahwa untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan aparatur pemerintah, perlu adanya kriteria yang menunjukkan apakah mutu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk.

Indikator atau kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja bersifat variatif artinya terdapat berbagai indikator sesuai dengan fokus dan konteks penelitian.

Karakteristik good governance dapat pula dijadikan indikator pengukuran kinerja yang meliputi participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consesus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, dan stategic vision. Lenvine dkk. (dalam Dwiyanto, 1995: 7-8)menawarkan tiga konsep indikator dalam pengukuran kinerja organisasi pelayanan publik, yaitu : responsiveness, responsibility, dan accountability. Responsiveness (responsivitas) adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas merupakan daya tanggap organisasi publik terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya dalam mengidentifikasi dan mengakomodir berbagai kepentingan dari berbagi kelompok yang ada di masyarakat (Herring, 1987: 74).

Responsibility, (responsibilitas), merupakan suatu konsep yang menjelaskan persesuaian pelaksanaan kegiatan organisasi publik dengan prinsip-prinsip administasi yang benar atau dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Dan dalam fungsi pelayanan publik memerlukan birokrasi yang profesional dengan dipadukan otoritas dan kemampuan diskresi, koordinasi serta responsibilitas (Herring, 1987: 78).

Accountability (akuntabilitas) merujuk pada pertanggungjawaban eksternal organisasi, yaitu apakah kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada para stakeholder-nya. Harmon dan Mayer (1986: 384) mengemukakan bahwa efektivitas pelayanan merupakan ukuran accountability dari suatu kebijakan organisasi publik sebagai standar kinerja pelayanan (provide standart of correct action).

Berpijak dari adanya perbedaan dari tujuan pada organisasi publik, Hughes (1994: 207) memilahkan indiktor ukuran kinerja organisasi pada tiga pusat perhatian, yaitu: (1) apabila perhatian utamanya pada efisiensi penggunaan sumberdaya, dipergunakan adalah pendekatan ekonomis dengan penekanannya pada indiktor keluaran, dan apabila memungkinkan pada hasil (outcome); (2) apabila perhatian utamanya pada akuntabilitas, penekanannya pada indikator pelayanan publik; dan (3) apabila pusat perhatiannya pada kompetisi manajerial, tekanannya pada pencapaian target.

Hatry (1989) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan berpedoman pada sumber data dari (1) analysis of agency records, (2) trained observer procedures, (3) citizen/client surveys. Tujuan pengukuran kinerja disebutkan Hatry adalah untuk: (1) mengetahui efisiensi dan kualitas layanan, (2) memotivasi birokrasi publik guna meningkatkan kualitas layanan, (3) pengawasan pelaksana kebijakan, (4) menentukan dan menyesuaikan anggaran, (5) mendorong birokrasi publik untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan masyarakat, dan (6) memperbaiki kualitas layanan.

Parameter dalam indikator responsivitas organisasi, yang meliputi: kemampuan mengenali kebutuhan dan aspirasi masyarakat, khususnya pengguna layanan; dan daya tanggap serta kemampuan organisasi mengembangkan program-program pelayanan sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Dalam indikator akuntabilitas organisasi, parameter yang dipakai adalah: persesuaian layanan yang diberikan dengan yang diharapkan pengguna jasa layanan; dan persesuaian kinerja dan pelayanan dengan sikap politik Pemerintah. Responsibilitas organisasi merujuk pada persesuaian pelaksana kerja organisasi dengan prosedur dan tatakerja yang berlaku. Sedangkan ukuran efektivitas organisasi akan mencakup : persesuaian pelaksanaan kegiatan kerja organisasi dengan tujuan; dan tingkat produktivitas organisasi atau kemampuan pencapaian hasil dibandingkan dengan target.

Pendapat steers (1980), bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pencapaian tujuan organisasi meliputi: karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, serta kebijakan dan praktek manajemen.

C. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah penjabaran penting dari tuntutan demokrasi di segala bidang. Daerah otonomi mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.

Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya Nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam penjelasan UU No.32 Tahun 2004,menjelaskan tentang penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya,dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama daritujuan nasional.

Pelaksanaan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah adanya ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.

Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono, 2006:48-59), Secara teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi. Sendi-sendi tersebut meliputi:

(1) sharing of power (pembagian kewenangan);
Pembagian kewenangan (sharing of power) antara pusat dan daerah ini menurut Oentarto dalam Suko Wiyono (2006: 49): “Secara teoritis ada 3 (tiga) urusan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada Daerah yaitu: pertahanan keamanan, urusan diplomasi atau politik luar negeri, dan urusan moneter dalam pengertian mencetak dan memberi nilai mata uang.”

Berdasarkan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Th.2004 yang isinya Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintahdi daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan Desa.

(2) distribution of income (pembagian pendapatan);
Pembagian pendapatan (distribution of income) diatur berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Landasan Filosofis dan landasan Konstitusionalnya adalah pasal 18 A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan. Pasal ini mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah di atur dan dilaksanakn secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.

Menurut Suko Wiyono (2006:50) ada Delapan (8) model pembagian pendapatan, yakni :
  1. 90% untuk Pemerintah Daerah dan 10% untuk Pemerintah Pusat. Ini berlaku untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan seluruh biaya yang berkaitan dengan tanah;
  2. 80% untuk Pemerintah Daerah dan 20% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
  3. 20% untuk Pemerintah Daerah dan 80% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Pajak Penghasilan (PPh);
  4. 80% untuk Pemerintah Daerah penghasil dan 20% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi sumberdaya Hutan (PSDH), Penerimaan Pertambangan Umum, Pertambangan Panas Bumi;
  5. 80% untuk seluruh kabupaten/kota dan 20% untuk Pemrintah Pusat berlaku untuk Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional;
  6. 40% untuk Pemerintah Daerah dan 60% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi;
  7. 15.5% untuk Pemerintah Daerah dan 84.5% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundangan;
  8. 30.5% untuk Pemerintah Daerah dan 69.5% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaan pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan.

(3) empowering (kemandirian/pemberdayaan pemerintah daerah).
Pemberdayaan (empowering) harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat Daerah.upaya mewujudkan demokrasi dan demokratisasi dapat dilakukan dengan adanya perubahan fundamental yaitu pemisahan antara lembaga eksekutif yaitu kepala daerah beserta perangkatnya yang kemudian disebut dengan Pemerintah Daerah, dan lembaga legislatif Daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam pasal 41 UU No.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah DPRD memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah Daerah. Sedangkan Pemerintahan Desa memiliki Badan Permusyawaratan Desa.

Perubahan sistem Pemerintahan Daerah ini sasarannya adalah: (1) Pembangunan sistem, iklim dan Kehidupan politik yang demokratis, (2) Penciptaan Pemerintahan Daerah yang bersih dan berwibawa serta bernuansa desentralisasi, (3) Pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan secara optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, (4) Penegakan supremasi hukum.

Fungsi DPRD menurut pasal 41 UU No. 32 tahun 2004 yaitu : (1) Fungsi Legislasi; (2) Fungsi Anggaran; (3) Fungsi Pengawasan (kontrol)

Dalam mewujudkan sasaran tersebut, DPRD selain memiliki fungsi juga memiliki tugas, wewenang dan hak-hak secara luas. Sehingga dalam perwujudannya diperlukan langkah konkrit yang mampu mendorong agar DPRD dapar berperan secara optimal dalam Pemerintahan Daerah.

Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPRD menurut pasal 42 UU No. 32 Tahun 2004 adalah (1) Membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama; (2) Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala Daerah; (3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama Internasional di daerah; (4) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepda Presiden melalui Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota; (5) Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah; (6) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian Internasional di daerah; (7) Memberikan persetujuan terhadap rencana perjanjian Internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; (8) Meminta laporan keterangan pertanggung-jawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; (9) Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah; (10) Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah; dan (11) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

Hasil dari perubahan tersebut dapat menyuburkan proses reformasi pada tingkat lokal dan memberi ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal sehingga tercipta corak pembangunan baru di daerah.

Peluang untuk mendorong perubahan antara lain, yaitu:
  • Menguatkan keyakinan publik bahwa demokrasi merupakan jalan yang paling baik untuk mencapai sebuah kehidupan baru yang lebih baik dan bermakna.
  • Adanya perubahan konfigurasi kekuatan dan kekuasaan politik. Perubahan kon-figurasi ini sudah tentu membuka kemungkinan untuk memasukkan ide-ide baru termasuk kritik atas skema lama yang sangat merugikan rakyat.
  • Adanya pembaharuan struktur kekuasaan, termasuk ide mengenai otonomi yang sedikit banyak telah mengubah struktur lama yang hirarkis.

Penutup
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses penyelenggaraan Pemerintah Desa yang reponsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintah yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, Pembuatan Perdes bersama dengan Pemerintah Desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Kinerja BPD dalam pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.
Support : PNPM Mandiri Perkotaan | UPK Cidenok | Arsip Desa Cidenok
Copyright © 2013. BPD Desa Cidenok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger